Monday, October 17, 2016

Perang Diponegoro

Pangeran Diponegoro yang lahir 11 November 1785 adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwono III seorang pemimpin Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Ibu beliau : R.A Mangkarawati berstatus sebagai selir dari Sultan Hamengkubuwono III yang memiliki tiga orang istri. Nama asli beliau adalah Raden Mas Mustahar dan kemudian oleh Sultan Hamengkubuwono II diganti menjadi Bendoro Raden Mas Ontowiryo. Beliau sejak kecil lebih memilih tinggal di Tegalreja rumah nenek buyutnya, dan memang lebih suka merakyat dan mendalami ajaran agama islam dan jawa. Sehingga menolak menjadi sultan ketika ayahnya mangkat karena dia juga ingat statusnya dari ibunya yang bukan istri sultan.
Pemicu perang besar di jawa ini sebenarnya bukan satu alasan saja yaitu bangunnya rel di pemakam an leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalreja, tetapi karena memang sudah sangat muaknya Pangeran Diponegoro terhadap perilaku Belanda yang memang telah sewenang-wenang, mulai dari berkecimpungnya mereka dengan keputusan-keputusan kesultanan, tingginya pajak yang dibebankan kepada masyarakat, dan tindakan mereka yang menyeleweng dari syarekat-syarekat islam. Sempat ada suatu saat ketika tahun 1822 kesultanan dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono V yang masih sangat muda, dikarenakan usianya yang muda tersebut, dibuatlah sebuah perwalian yang berisi Kanjeng Ratu Agung permaisuri Sultan Agung Hamengkubuwono III, Kanjeng Ratu Kencana permaisuri Sultan Agung Hamengkubuwono IV, Pangeran Mangkubumi yang seorang anak dari Sultan Hamengkubuwono I dan Pangeran Diponegoro sendiri. Pangeran sering tidak diajak didalam rapat-rapat di perwalian tersebut karena pengaruh belanda dan sangat terlihatnya ketidaksukaan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda. Karena Sultan kala itu masih muda, maka urusan kenegaraan dijalankan oleh Patih Danurejo yang memang dekat dengan Belanda.

Dan klimaks dari keengganan Pangeran Diponegoro tersebut adalah ketika Belanda merencanakan membangun rel di atas tanah Tegalreja yang melewati pemakaman leluhurnya, oleh Belanda Patih Danurejo disuruh untuk memasang patok-patok disana. Melihat ini Pangeran Diponegoro marah karena melihat Belanda seenaknya sendiri memasang patok-patok pembangunan tersebut terlebih lagi diatas pemakaman, Belanda sangat tidak menghormati kaedah-kaedah islam dan adat-istiadat setempat. Oleh Pangeran Diponegoro patok-patok tersebut disuruh dicabut, dan kemudian ketika Patih Danurejo memasang kembali patok-patok tersebut patok tersebut juga dicabut kembali. Dan Pangeran Diponegoro juga telah siap dengan mengumpulkan massa untuk melawan Belanda. Berita ini sampailah kepada Belanda yang kemudian menyuruh Pangeran Mangkubumi untuk menemui Pangeran Diponegoro, ketika Pangeran Diponegoro ditemui oleh Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi kemudian malah membelot dan masuk kedalam perlawanan Pangeran Diponegoro, Pangeran Mangkubumi menasehati untuk membuat markas di daerah Selarong. Ketika itu juga datanglah seorang utusan dari keraton untuk menjemput Pangeran Mangkubumi, dan datang juga tentara Belanda menyerang desa Tegalreja, kala itu mulailah perlawan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda. Setelah Tegalreja dibakar oleh Belanda, anak—anak dan wanita mengungsi di desa Kalisaka dibawah perlindungan Pangeran Mangkubumi, sementara markas besar Pangeran Diponegoro di Selarong bersama dengan pangeran-pangeran lain yang mendukungnya.

Baca Juga:





Jalannya Perang

Di Selarong Pangeran Diponegoro mambagi tugas untuk melakukan perlawanan. Pangeran Diponegoro Anom ,putra pangeran Diponegoro, dan Tumenggung Danukusuma diberi tugas untuk melakukan perlawanan di daerah Bagelen. Pangeran Adiwinono dan Mangundipuro mendapat tugas mengadakan perlawanan di daerah Kedu dan sekitarnya . Pangeran Abu Bakar dan Tumenggung Jaya Mustopo mengadakan perlawanan di daerah Lowano. Pangeran Adisurya dan Pangeran Sumonegoro mengadakan perlawanan di Kulon Progo Tumenggung Cokronegoro memimpin pasukan di Godean. Pangeran Joyokusumo ( Pangeran Bei ) memimpin pasukan di utara Yogyakarta dibantu Tumenggung Suradilogo. Yogyakarta bagian timur diserahkan kepada Tumenggung Suryonegoro dan Tumenggung Suronegoro. Pertahanan di Selarong diberikan kepada Joyonegoro,pangeran Suryodiningrat dan Pangeran Joyowinoto. Gunung Kidul diberikan kepada pangeran Singosari dan Pangeran Warakusumo. Perlawanan di daerah Pajang dipegang oleh Pangeran Mertoloyo Pangeran Wiryokusumo, Tumenggung Sindurejo dan Pangeran Diporejo. Perlawanan di Sukawati dipimpin oleh Kertonegara , Bupati Mangunnegara memimpin perlawanan di Madiun Magetan dan Kediri.
Insiden Tegalreja tersebut terdengar oleh Gubernur Hindia Beland saat itu Van der Cepellen, dan memutuskan untuk mengirimkan Jenderal De Kock sebagai lawan tanding Pangeran Diponegoro. Jenderal De Kock sampai di Semarang pada tanggal 29 Juli 1825 dan tiba di Surakarta tanggal 30 Juli 1825. Membuat perundingan dengan Pakubuwana VI dan hasilnya Pakubuwana VI menyetjui untuk membantu Belanda menghentikan pemberontakan Pangeran Diponegoro. Untuk memadamkannya Belanda mengirimkan pasukan bantuan dari Semarang. Sesampainya di lembah Logerok (Lembah Pisangan) pasukan Belanda dengan dipimpin oeh kapten Keemsius disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah pimpinan Musyosentika. Pasukan hancur musuh milik Belanda kalah telak dan sebanyak 200 orang tewas, serta berhasil dirampasnya uang 50.000 gulden yang akan dikirim kepada residen Yogyakarta. Kemenangan ini menjadi yang pertama di akhhir Juli 1825 serta membuat semain banyaknya orang yang menyebrang ke sisi golongan Pangeran Diponegoro.

Kemudian bala bantuan dari timur yang berisikan dari legiun Mangkunegaraan dipimpin oleh Raden mas Suwongso menantu Mangkunegoro disergap di Randugunting, Kalasan. Hampir seluruh prajurit tewas. Pemimpinnya tersebut tertawan dan dibawa ke Selarong tetapi kemudian dibebaskan oleh Pangeran Diponegoro.

Mendengar berita kemenangan pasukan Diponegoro di logorok dan Randugunting dan di lain lain tempat, rakyat semakin bergerak dan kuat. Keluarga Keraton Yogyakarta ketakutan dan bersembunyi di benteng Belanda. Banyak alim ulama kraton yang meninggalkan kraton dan bergabung dengan pasukan Diponegoro.

Berita kemenangan-kemenangan tersebut sangat cepat menyebar bak kebakaran di padang rumput sehingga menghasilkan lebih banyak lagi simpaitisan—simpatisan yang menyebrang ke sisi Pangeran Diponegoro, dan menimbulkan perlawanan dimana-mana di Jawa.

Di Kedu pertempuran terjadi sangat sengit, pasukan rakyat yang disebut Bulkiya yang dipimpin oleh Haji Usaman Alibasah dan Haji Abdulkabir melawan pasukan Belanda dengan bantuan dari Bupati Magelang Tumenggung Hadiningrat. Pasukan Pangeran Diponegoro melumat dan memukul mundur pasukan Belanda serta menewaskan Bupati Magelang, Tumenggung Danuningrat. Di daerah Menoreh pun pasukan Pangeran Diponegoro dapat mengancurkan pasukan Belanda dan menewaskan Bupati Menoreh Ario Sumodilogo. Pada tanggal 7 Agustus 1825, Jenderal De Kock mengirim surat untuk mengadakan perundingan dengan segala pihak, dan dia diundang ke Selarong, tetapi Jenderal De Kock tidak berani datang.

Perlwanan rakyat terus berkobar , upaya de Kock untuk mengatasi perlawanan rakyat adalah degan cara memanggil opsir opsir yang bertugas diluar Jawa untuk menghadapi Diponegoro. Jenderal Van Geen yang bertugas memadamkan perlawanan di Sulawesi ditarik ke Jawa, selama berminggu minggu dia harus bertempur melawan rakyat Semarang yang dipimpin oleh Pangeran Serang. Pangeran Serang kemudian menuju ke Sukawati diselatan bergabung dengan pasukan Kartodirja. Kemudian mereka memimpin perlawanan rakyat di Rembang, Blora dan Bojonegara. Tumenggung Kartadirja tertembak kakinya kemudian ditawan di Semarang. Kemudian Pangeran Serang bergabung ke Madiun dan selanjutnya bergabung dengan Pangeran Diponegoro di Yogyakarta.

Jenderal de Kock berusaha mengepung markas pangeran Diponegoro di Selarong akan tetapi untuk mengepung Selarong de Kock terlebih dahulu harus menghadapi perlawanan rakyat di Semarang,Bagelen,Kedu, Banyumas Madiun dan Surakarta. Untuk itu de Kock menugaskan tangan kanannya yaitu Letkol Diell dan Letkol Cleerens. Letkol Diell menghadapi perlawanan rakyat di Banyumas dan Letkol Cleerens di Tegal dan Pekalongan.

Pasukan Belanda mengadakan serangan besar besaran ke Selarong pada 2 dan 4 Oktober 1825 namun Selarong sudah kosong karena Pangeran Diponegoro memindahkan markasnya ke Dekso. Para wanita,anak anak dan orang tua dipindahkan ke Suwela. Di situ Pangeran Diponegoro memperkuat dan memperbaiki pasukannya. Ia membentuk kesatuan pasukan baru dengan Senapati tangguh dan berpengalaman.

Pada akhir tahun 1825 Pasukan Diponegoro berhasil memukul mundur pasukan Belanda yang menyerang Imogiri. Di Yogya timur Tumenggung Suronegoro berhasil menggempur pertahanan Belanda dan mampu mengambil banyak senapan dan meriam dari Belanda.

Hanya di Yogya bagian barat pasukan Belanda mampu mengepung Dekso,markas pangeran Diponegoro. Kemudian pada tanggal 16 April 1826 pasukan gabungan Belanda dan Mangkunegaran menyerang pertahanan Pasukan Dipangera di Plered,tapi kemudian ditinggalkan dan diduduki kembali oleh pasukan Diponegoro. Pada 6 Juni dibawah pimpinan Kol Cochius, Pangeran Suria mataram dan pangeran Suriadiningrat. Kraton Tua Plered kembali dikuasai oleh Pasukan Belanda dan Mangkunegaran.

Pada 8 Juli 1826 Dekso diserang akan tetapi pangeran Diponegoro telah berpindah ke desa Kasuran. Kemudian tanggal 28 Juli pasukan Belanda kembali bergerak menuju Yogyakarta,di Kasuran pasukan Belanda disergap oleh Pasukan Diponegoro Van Geen kabur dan Kol Cochius dan dua orang bangsawan kraton tewas.

Selama tahun 1826 Pangeran Diponegoro selalu memenangkan pertempuran melawan Belanda dan Mangkunegaran. Perlawanan rakyat di Bagelen berhasil memukul mundur Belanda. Pangeran Bei memenangkan pertempuran di Kejiwan. Dalam pertempuran di Delanggu pasukan Diponegoro berhasil memenangkan pertempuran sengit, dan mendapatkan berpuluh senapan dan dua belas meriam, pertempuran di Delanggu adalah kemenangan terbesar bagi pihak Pangeran Diponegoro.
Karena mengalami kekalahan berturut turut sejak awal perang de Kock kemudian mengangkat kembali Sultan Hamengkubuwono II pada 1826. Pengangkatan ini bermaksud agar pimpinan perjuangan rakyat yang dulu setia kepada Sultan Sepuh mau meninggalkan perjuagan dan kembali ke kraton. Akan tetapi pemimpin pasukan tetap setia kepada Pangeran Diponegoro, dan tetap melanjutkan perlawanan.

Baca Juga :




Pada tahun 1827 karena telah menelan kekalahan bertubi tubi sejak dua tahun berperang. Jenderal de Kock mengubah siasat perang menjadi Benteng Stelsel, yaitu dengan mendirikan benteng di tempat yang diduduki. Siasat ini untuk mengimbangi siasat perang gerilya yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro yang selalu berpindah tempat. Sehingga pasukan de Kock tidak perlu mencari Diponegoro. Total 200 benteng dibangun untuk mengatasi perlawanan Pangeran Diponegoro.
Strategi benteng stelsel ini tidak langsng behasil karena pasukan Diponegoro masih memenangkan pertempuran pertempuran di Kedu. Di Banyumas pasukan Belanda bahkan harus kehilangan letkol Diels dan letkol de Bost. Hanya pasukan di daerah yogya selatan yang mamp dimenangkan oleh pasukan Belanda dimana Pangeran Notonegoro dan Pangeran Serang menyerah pada tanggal 21 Juni 1827 atas bujukan residen Yogya, van Lowick. Itu merupakan pukulan telak bagi pasukan Diponegoro.

Pada 1828 Belanda memindahkan markasnya ke Magelang Karena dinilai leih strategis.,sebab lokasinya yang strategis untuk memadamkan perlawanan rakyat. Belanda terus memperkuat jaringan bentengnya, mereka mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Pada 1828 tepatnya pada tanggal 18 April Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Mangkubumi menyerah. Penyerahan ini sangat menggembirakan bagi Belanda karena Belanda berharap Pangeran Mangkubumi juga ikut menyerah ke Belanda.

Disamping persenjataan yang lengkap dan modern. Belanda juga melancarkan cara lain untuk mempengaruhi para pemimpin pasukan Diponegoro untuk menyerahkan diri denagn iming iming posisi di kraton.

Pada akhir 1828 terjadi pertempuran di Penangguhan. Disini jatuh banyak korban dari Belanda maupun dari pasukan pangeran Diponegoro. Kapten Van Ingen dan Pangeran Prangwedana tewas dan di pihak Diponegoro komandan pasukan Mantirejon meninggal. Kedua belah pasukan menarik diri dari pertempuran ini.



















Daerah-daerah terjadinya perang
Daerah-daerah terjadinya perang

Akhir Perang Jawa

Pada awal tahun 1829 terjadi pergantian pimpinan dalam pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia. Komiaris Dus Bus akan diganti oleh Johannes van Den Bosch sebagai Gubernur Jenderal. Jenderal Marcus de Kock diganti oleh Mayor Jendral Benyamin Bisschof. Mayor Bisshof tiba di Jakarta tanggal 13 Mei 1939. Jenderal ini kondisinya lemah dan ia meninggal di Cianjur Jawa barat pada 7 Juni 1939. Sehingga Jendeeral de Kock minta memimpin pasukan Belanda melawan Dipanegara.

Sementara terjadi pergantian kekuasaan di Belanda Pangeran Dipanegara terus melanjutkan perlawanan di Bagelen dan Banyumas. Yogyakarta selatan perlawanan rakyat dibawah Pangeran Bei mengadakan perlawanan terhadap pos pos pertahanan Belanda. Karena kewalahan Belanda mendatangakan bala bantuan dari Sulawesi, Maluku, Bali dan Eropa.

Perundingan perundingan gagal terwujud antara dua pihak. Ketika Belanda berusaha menangkap Mangkubumi yang menjaga wanita dan anak anak di Kulur,pasukajn belanda tiba tiba diserang oleh Sentot Prawiradirja. Markas pertahanan Pangeran Bei diserang oleh Belanda, Pangeran Bei terluka dalam penyerangan itu, R Joyonegara yang datang membantu tidak mampu menahan pasukan Belanda.

Pada 1829 diluar Yogyakarta banyak Tumenggung yang menyerah kepada Belanda. Istri pangeran Mangkubumi juga menyerah pada tahun yang sama. Kemudian karena usia yang tua Pangeran Mangkubumi kembali ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Keadaan semakin memburuk bagi Pangeran Dipanegara, Sentot Prawiradirja menyerah ke Belanda. Para Pangeran juga menyerah kepada Belanda dan kembali ke kraton Ngayogyakarta. Akan tetepi Pangeran Dipanegara tetap mengadakan perlawanan di daerah Kedu.

Pada 17 Februari Letkol Cleerens mengahadap Pangeran Dipanegara untuk mengajak berunding di Karesidenan. Pada 18 Maret Pangeran Dipanegara tiba di Magelang dengan berkuda tepat pada bulan Ramadhan. Dipanegara kemudian mengusulkan agar perundingan baru diadakan setelah Idul Fitri yang jatuh pada 27 maret 1830.

Sehari setelah Idul Fitri pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan dilaksanakan. Tuntutan pangeran Dipanegara agar mendirikan negara merdeka yang bersendikan syariat dan Islam. Karena tuntutan Dipanegara dinilai berlebihan kemudian Pangeran Dipanegara ditangkap kemudian dibuang ke Manado.

Dengan demikian berakhirlah Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Dipanegara melawan kraton dan Belanda.







Dampak Perang Jawa

Tidak bisa dipungkiri, Pangeran Dipoengoro berhasil membuat Belanda kocar-kacir dan mengalami kerugian yang sangat besar banyak dari pasukannya tewas dan daerah-daerah penting hancur dan sempat terkuasai. Setelah berhasil ditangkapnya Pangeran Diponegoro, Belanda masih mengalami masalah menegenai dana-dana yang perlu untuk membangun kembali tempat-tempat yang rusak. Oleh Van Den Bosch dibuatlah aturan baru tentang tanam paksa untuk menutup kekosongan kas Belanda. Menurut saya seharusnya Dipoengoro bisa menang apabila saudara-saudara setnah airnya emua ikut membantunya karena sebenarnya pasukan Belanda teramatlah sedikit dan mereka kebanyakan merekrut orang-orang pribumi untuk masuk tentaranya, seperti legiun Mangkunegaraan. Sungguh keberanian Diponegoro patut dilanjutkan di jaman sekarang ini, menentang imperialisme dalam bentuk yang lebih modern.






No comments:

Post a Comment