Thursday, December 1, 2016

Alat Batu Yang Dibuat Monyet Liar Memaksa Kita Memikirkan Keunikan Kita Sendiri

Alat Batu Yang Dibuat Monyet Liar Memaksa Kita Memikirkan Keunikan Kita Sendiri



Seekor monyet mengambil batu berukuran kentang di tangan kecilnya, mengangkatnya ke atas kepalanya dan memukulkan batu itu ke batu lain di tanah. Selama monyet itu terus menerus menghempaskan batunya, serpihan batu melayang dari batu yang ia pegang. Batu-batu tersebut cukup tajam untuk memotong daging. Monyet tersebut tidak terlalu memberikan perhatian lebih terhadap serpihannya, dan memukulkan ke semua. Tetapi dia telah tanpa sadar membuat artefak yang telah dicari di seluruh dunia ini yaitu alat batu yang ditemukan di situs arkeologi manusia purba.

Monyet itu adalah capuchin liar di daerah timur laut Taman Nasional Brazil Serra da Capivara, dimana hewan-hewan disana telah diketahui menggunakan batu untuk aktifitas yang berjarak jauh, dari membuka kacang dan menggali akar untuk mendapat perhatian dari pasangan. Primata bukan manusia lainnya, termasuk simpanse Afrika Barat, juga menggunakan batu sebagai alat di alam liar. Tetapi hanya capuchin di daerah Serra da Capivara saja yang terlihat oleh para peneliti menghantamkan bebatuan untuk memecahnya, aktifitas yang sebelumnya diketahui hanya milik keluarga manusia saja. Manusia melakukannya untuk membuat alat yang tajam dipinggir untuk memotong sesuatu. Para capuchin ini berbeda, tidak pernah menggunakan serpihan yang telah mereka buat. Jelasnya kenapa mereka ingin memecah batu tersebut belum jelas, tetapi kadang mereka berhenti sejenak dari menghantam batu itu untuk menjilat permukaan batu yang tertanam, mungkin untuk mencari debu mineral yang muncul karena benturan.
Sekarang sebuah penelitan baru telah mempelajari serpihan batu capuchin dan membandingkan mereka dengan artefak manusia, dan ternyata potongan batu itu masuk kedalam kriteria yang digunakan untuk membedakan alat manusia dengan batu yang pecah secara alami. Penemuan ini, dipublikasikan di bulan Oktober tanggal 20 di Nature, dapat memanasi debat kontroversial mengenai situs arkeologi di Brazil yang dikatakan mempunyai bukti awal keberadaan manusia di Dunia Baru. Penemuan itu juga menaikkan pertanyaan mengenai apa kah perbedaan manusia dengan primata lainnya, dan bagaimana silsilah kita bisa dimulai dari bukti penggunaan alat dari batu.

Tomos Proffit dari Universitas Oxford dan rekan kuliahnya mengambil penelitian itu. Mereka mengobservasi cara capuchin memilah batu untuk menggunakannya sebagai palu dari bahan batu lepas, sebuah batu pasir konglomerat dan bulat, dan melihat ketika mereka menghantamkan batu itu ke cobble. Para peneliti kemudian mengumpulkan batu yang berserakan, dan mengoleksi artefak lain yang ditemukan di permukaan dan juga melakukan ekskavasi di area sekitar, sama seperti ketika mengekskavasi situs arkeologi manusia. Mereka kemudian menganalisa dari koleksi 111 artefak capuchin ini, mengamati bentuk dan ukurannya juga bekas yang ditinggalkan dari hantaman. Mereka juga mencocokkan serpihan batu dari batu aslinya.
Para peneliti menemukan bahwa artefak capuchin ini menunjukkan sisi potong yang tajam, dan bahwa para monyet tersebut sering membuat serpihan dari satu batu saja semuanya sama dengan pembuatan alat batu yang dibuat manusia. (Penulis juga memberikan catatan bahwa fragmen batu yang terbuat selama pemecahan kacang oleh simpanse, kurang atau tidak mirip dengan kriteria alat batu manusia, sama dengan serpihan yang dibuat oleh bonobo yang dikandangkan dan dilatih untuk menghantamkan batu.)
Experts have previously linked such characteristics to the emergence of humanlike hands and coordination, and to shifts in human cognition. But the fact that monkeys produced rocks with these same traits demands a different evolutionary explanation. And if modern-day monkeys modify rocks in this way it is possible that extinct monkeys and apes did too, leaving behind archaeological assemblages of their own. Archaeologists thus need to refine the criteria they use to identify stone tools intentionally produced by members of the human family, Proffitt and his colleagues argue.
Para ahli sebelumnya menghubungkan karakteristik ini dengan mulai munculnya tangan berbentuk manusia dan koordinasinya, dan kemudian berubah ke kognitif manusia. Tetapi fakta bahwa monyet yang membuat batu dengan hasil yang sama itu memerlukan penjelasan evolusi lain. Dan jika monyet modern ini mampu untuk memodifikasi batu dengan cara seperti ini ada kemungkinan dengan monyet yang telah punah dan kera purba bisa juga, membuat para arkeolog kebingungan. Arkeologi juga seharusnya butuh kriteria mereka untuk mengidentifikasi alat batu yang khusus hanya dibuat oleh keluarga manusia, Proffit dan rekannya memberikan argument.
“Sangat pandai mereka meneliti alat batu yang dibuat monyet sama dengan cara kita meneliti alat baut buatan manusia”, kata arkeolog Sonia Harman dari Stony Brook University, yang telah berkecimpung dengan riset baru.” Banyak orang akan terganggu dengan alat yang dapat dibuat oleh capuchin ini,” dia menambahkan, tidak ada apapun yang dapat dibuktikan dari video yang di rekam oleh tim Proffit. Menurut Harman artefak dari monyet ini seperti dari situs di daerah Afrika Timur yang berisi alat batu awal yang dibuat oleh leluhur manusia, disebut Oldowan, yang bertanggal 2,6 juta tahun yang lalu di sebuah situs di Gona Ethiopia. Serpihan capuchin ini adalah contoh paling sederhana dari teknologi Oldowan. Tetapi batu di Oldowan menunjukkan bentuk lebih rapi dan terencana katanya. Artefak dari monyet ini juga agak berbeda dengan alat batu tertua yang telah diketahui di dunia, 3,3 juta tahun yang lalu yang sedang diteliti oleh harman dan timnya di daerah Lomekwi Kenya. Alat batu Lomekwi ini terlalu besar, dan terbuat dari basalt dan phonolite-batu yang lebih rapat daripada quartz dan quartzite yang digunakan capuchin.
Beberapa ahli bertanya-tanya apakah serpih capuchin ini dapat memberikan keraguan bahwa silsilah manusia dibuat dengan mulai adanya alat batu. Meskipun para peneliti telah menghubungkan alat itu dengan leluhur manusia, situs itu kurang fossil petunjuk untuk meberikan hubungan yang jelas. “Kita tidak memiliki petunjuk” siapa yang membuat alat di Lomekwi dan Gona, kata arkeolog Wil Roebroeks dari Universitas Leiden.
Tetapi komentar lain yang menemani tim tulisan Nature, Helene Roche dari Universitas Paris-Nantere memberikan pendapat bahwa penemuan dari capuchin seharusnya tidak menimbulkan kecurigaan mengenai siapa yang membuat alat batu pertama di Afrika. Arkeolog telah mempelajari ratusan dari batuan tersebut. Banyak dari penemuan itu diiringi dengan tulang yang menunjukkan bagaimana alat tersebut digunakan, dan fossil yang menunjukkan leluhur manusia yang telah membuatnya, dengan petunjuk lainnya. Artefak monyet ini bagaimanapun dapat memberikan perubahan terhadap analisis batu yang telah ditemukan di situs arkeologi di Pedra Furada- dimana dekat dengan rumah capuchin di Taman Nasional Serra da Capivara- Roche mengatakan Scientific American. Arkeolog telah mendebatkan situs Pedra Furada selama berdekade. Beberapa dari mereka mendemonstrasikan keberadaan manusia di Brazil lebih dari 20,000 tahun yang lalu, sebelum pemburu Clovis yang dipikir adalah manusia pertama yang mengkolonisasi Amerika, sekitar 13,000 tahun yang lalu: kemudian ahli lainnya, termasuk James ADOVASIO DARI Universitas Atlantic Florida, mengatakan bahwa apa yang disebut alat itu hanyalah batu yang pecah tidak sengaja ketika erosi dari tebing dan jatuh di tanah bawahnya.”Benda di Pedra Furada bahkan tidak sampai ke standar capuchin,” kata Adovasio.
Andrew Hemmings, yang juga dari Universitas Atlantic berpikir menyelesaikan masalah penjelasan gravitasi adalah hal utama dari Pedra Furada. Tetapi dia mencurigai identifikasi perbedaan antara batu pecah alami dengan buatan capuchin mungkin sangat sulit.” Penelitian ini menggaris bawahi seberapa besar area abu-abu yang menjadi batas antara batu pecah alami dengan buatan manusia atau hewan lain ,”katanya. Bagiannya, Eric Boeda dari Universitas Paris di Nanterre, yang memimpin ekskavasi di Pedra Furada, mengatakan bahwa dia tidak khawatir dengan serpihan hasil buatan monyet. Dia bersikeras bahwa artefak di Pedra Furada lebih kompleks dan beragam daripada “serpih kecil” yang dibuat capuchin, dan bahwa batunya menunjukkan jejak pernah digunakan untuk daging maupun tanaman.
Kontorversi Pedra Furada dikesampingkan, penemuan capuchin menambah ke daftar yang berkembang mengenai penemuan yang telah membuat mengikisnya garis batas antara manusia dan primata. “Mereka membantu menunjukkan kapabilitas dari peranakan primata lain yang kita ketahui hanya kita dan leluhur kita yang punya,” kata Adovasio. “Mereka membuat kita berpikir lagi mengenai seberapa spesial kita.” Meskipun di maksud lain karya capuchin ini melemparkan pembagian antara primata bukan manusia dengan kita di ranah lebih tinggi. Para peneliti menyetujui bahwa perbedaan antara artefak yang dibuat capuchin dan manusia adalah yang manusia buat dengan maksud tertentu, dengan tujuan dalam pikirannya. Oleh capuchin, serpihan yang muncul karena hasil yang tidak digunakan dari kegiatan mereka terhadap debu quartz atau kata lainnya adalah sisa sehingga tidak digunakan. Untuk manusia awal, mereka menggunakannya untuk survival dengan memberikan kemudahan mengolah makanan.
Meskipun penemuan capuchin ini menunjukkan bahwa spesies lain selain manusia dapat secara tidak sengaja membuat fragmen dari batu yang terlihat seperti alat pemotong buatan manusia, itu tidak menunjukkan bahwa alat yang dibuat manusia tidaklah spesial, kata Harmand. Meskipun nenek moyang manusia mulai membuat serpihan karena kesalahan seperti yang dilakukan para capuchin, ada sesuatu yang membuat mereka menyadari mereka dapat menggunakannnya sebagai alat baru untuk tujuan mereka. Lebih lagi, teknologi manusia berkembang dari alat yang sederhana seperti yang terlihat di Lomekwi dan di Oldowan kapak gengam yang terlihat sekarang dengan bentuk yang rapi, dan lalu setelah jutaan tahun kemudian berubah menjadi mesin yang kita miliki sekarang. Kenapa teknologi tidak berkembang dengan derajat yang samas dalam kasus simpanse dan monyet, tanya Harmand. Mengapa hanya manusia sendiri yang dapat mencapai tingkat yang ekstrim tersebut?.
Jawaban untuk pertanyaan tersebut mungkin terbukti mengada-ada. Untuk sekarang, Proffit tetap berkemauan untuk menggali lebih dalam ke akitifitas memecah batu capuchin.”Kita sangat perlu memahami mengapa para capuchin ini sangat tertarik dengan membuat debu quartz, karena ini timbul alat yang sangat unik sebagai kebiasaan diantara para primata selain manusia,”katanya. Sangat mungkin mereka memakan debu quartz tersebut sebagai pengobatan diri, mungkin untuk menghilangkan parasit atau melukai parasit itu dengan partikel-partikel debu, spekulasi Proffit. Dia juga ingin mengetahui seberapa lama para capuchin telah menggunakan batu dengan cara seperti ini. Bukti lain bahwa batu cobbles telah digunakan sebagai pemecah kacang sejak 700 tahun. Dan alat batu simpanse dari Pantai Gading Afrika Barat sejak 4,300 tahun yang lalu. Di luar itu semua “kami masih belum memiliki bukti dari apa yang telah dilakukan monyet purba atau kera besar,” kata Harmand. Yang memberikan ruang yang banyak untuk kejutan lagi dimasa depan.
Sumber : https://www.scientificamerican.com/article/wild-monkeys-stone-tools-force-a-rethink-of-human-uniqueness

No comments:

Post a Comment